LINE_P2016521_062459_new

Sudah lama gue nggak meng-update blog gue, lebih tepatnya karena gue kehabisan bahan observasi. Gue biasanya akan langsung memajang kesimpulan sementara hasil observasi-observasi gue, kemudian gue akan mem-posting update dari observasi tersebut untuk kesimpulan yang didasarkan dengan data yang lebih lengkap. Tapi, sudah berbulan-bulan (mungkin hampir setahun ini) gue nggak menemukan ada yang baru dari hasil observasi gue. Seolah objek observasi gue hanya bergerak statis di tempat yang sama; sehingga kesimpulan yang gue punya juga tetap sama dengan kesimpulan yang terakhir gue publikasi di sini.

Karena gue sudah mulai bosan melakukan observasi atas lingkungan sosial yang ternyata gitu-gitu aja, akhirnya gue menenggelamkan diri di dalam SEPENA (Seniman Pengolah Kata), komunitas penulis garapan gue (iya, gue sombong dengan gelar ‘solo-founder’ tersebut). Untuk enam bulan pertama, SEPENA tidak memiliki kegiatan yang pasti; hanya berupa grup tempat ngobrol puluhan orang. Tapi, memasuki November dan Desember tahun lalu, salah satu member SEPENA, Irza, menawarkan diri untuk mengetuai SEPENA dan mengurus perintilan-perintilan komunitas penulis ini. Akhirnya, setelah beberapa bulan, kegiatan online SEPENA mulai berjalan. Namun, menjelang April, Irza mulai menghilang karena harus fokus dengan ujian akhir dan nasional, serta ujian masuk universitas. Akhirnya, perlahan gue juga mengambil alih SEPENA kembali supaya nggak lepas dari jalur.

Awalnya gue hanya sebagai pendamping saja, memperkenalkan SEPENA ke publik via offline. Salah satu temen gue, Arby, memperkenalkan SEPENA ke sebuah kelompok seniman di Taman Suropati. Berangkat dari sana, SEPENA akhirnya diundang untuk menghadiri dan tampil di sebuah acara garapan temen gue di Tamsur, acara Sastra Taman, sejak Februari lalu. Sejak saat itu, SEPENA rutin menghadiri dan tampil sebagai pengisi acara di Sastra Taman. Lalu, setelah gue lihat Irza mulai kehilangan kontrol karena harus membagi fokus dengan dunia akademisnya, mulailah SEPENA gue ambil alih dan gue daftarkan ke acara-acara seperti Sastra Taman.

Setelah melihat acara-acara seperti Sastra Taman, gue mulai melakukan observasi di bidang baru, yaitu seni, sastra, dan hiburan. Observasi gue baru berlangsung sebentar dan datanya belum begitu banyak. Tetapi, kurang lebih gue sudah mulai memahami apa itu seni dan sastra yang sebenarnya, serta apa bedanya dengan hiburan. Dan itulah yang akan gue bahas di sini.

.

LINE_P2016521_062458
Photo by: Tasya & Sandra

Sastra Taman sempat mengalami perubahan warna yang drastis di bulan April yang mengambil tema Membaca Chairil Anwar. Saat menghadiri acara tersebut, gue terkejut setengah mati karena perubahan yang begitu drastis dan tidak gue sukai. Awalnya gue mengira kalau ini hanya masalah personal gue yang kurang nyaman dengan orang asing dan acara yang terlalu kaku. Tetapi rupanya, ada sesuatu yang lebih dari itu.

Acara Sastra Taman yang gue hadiri pada bulan Februari dan yang gue hadiri pada bulan April memiliki warna yang sangat bertolak belakang. Di Sastra Taman bulan Februari, gue melihat sebuah panggung seni. Sedangkan di Sastra Taman bulan April, gue melihat panggung hiburan. Gue, sebagai salah satu teman yang cukup dekat dengan penggarapnya (Bang Dodi, dkk), sangat yakin bahwa Sastra Taman bukanlah sebuah acara hiburan. Oleh karena itu, di bulan April tersebut, gue bete sejadi-jadinya dan pulang di tengah-tengah acara. Entah kenapa, ada kekecewaan mendalam melihat panggung Sastra Taman bulan April lalu. Kekecewaan yang juga bercampur dengan kesedihan (bukan berlebihan, kalau kalian mengerti, kalian akan merasakan hal yang sama).

Saat melihat Sastra Taman di bulan Februari, entah kenapa gue merasa seni dan sastra Indonesia akan kembali bangkit. Di bulan Februari itu pula gue merasa Bang Dodi dkk memperkenalkan kepada gue dan hadirin lainnya tentang apa itu panggung seni dan apa perbedaannya dengan panggung hiburan. Ditambah, di bulan Februari itu gue diseret maju untuk mengisi acara, sehingga gue merasakan sendiri seperti apa rasanya berdiri di atas panggung seni. Yang jelas, saat maju ke atas panggung, meski gue adalah seorang newbie, gue merasa sangat nyaman.

.

Dari tamparan bulan April kemarin, gue mulai mempelajari lebih dalam tentang apa itu seni dan sastra, dan apa itu hiburan. Gue mempelajarinya dari segi panggung atau pertunjukan (karena bahan yang gue punya hanya itu).

Banyak orang yang tidak menyadari bagaimana panggung seni seharusnya. Bagi gue, pertunjukan seni hanya merujuk kepada jiwa si performer tanpa tuntutan apapun. Performer boleh menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya, boleh menampilkan pertunjukan apapun yang membuat dirinya nyaman, dan boleh mengabaikan penonton demi kesuksesan pertunjukannya. Ditambah lagi, panggung seni biasanya tidak menciptakan jarak antara performer dengan penonton. Di pertunjukan seni, performerlah yang mengendalikan panggung dan situasi acara. Performer bebas untuk melibatkan penonton atau tidak saat menjadi pusat perhatian. Karena seni adalah kebebasan dalam berproses. Untuk berseni, seseorang harus merasa bebas dari apapun, bahkan dari dirinya sendiri.

Sementara untuk panggung hiburan, akan ada banyak peraturan yang harus dipatuhi oleh performer demi keberlangsungan acara. Pertama, performer harus menampilkan apa yang menjadi selera penonton (pasar) atau apa yang diinginkan oleh mereka. Setelah mengetahui hal itu, performer wajib mengolah pertunjukan agar ekspektasi pasar terpenuhi. Performer di pertunjukan hiburan memiliki kewajiban untuk berkomunikasi dengan penonton dengan cara apapun dalam rangka menghibur mereka.

Intinya, salah satu perbedaan antara panggung seni dan panggung hiburan terdapat pada orientasi pertunjukan. Jika pertunjukan hiburan dilakukan demi memenuhi ekspektasi dan kepuasan penonton, pertunjukan seni dilakukan demi kepuasan pribadi performer-nya.

Di banyak kasus, pertunjukan seni biasanya digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan aspirasi yang dimiliki oleh si performer. Seni digunakan sebagai media untuk menyampaikan pendapat serta kegundahan atau perasaan performernya. Sementara untuk pertunjukan hiburan, jarang digunakan untuk menyampaikan aspirasi atau suara hati dari performernya karena tujuan dari kedua pertunjukan ini sangat berbeda.

Ada pula pertunjukan yang merupakan penggabungan antara seni dan hiburan. Di mana ide, atau aspirasi, atau suara yang ingin disampaikan oleh performernya dibungkus sedemikian rupa, seindah mungkin, dan sekomunikatif mungkin sehingga pesan yang dapat diserap oleh penonton saat mereka sedang dihibur. Pertunjukan seperti ini sudah ada di Indonesia, salah duanya adalah Stand Up Comedy dan teater. Tapi gue rasa, masih jarang orang yang menggunakan seni sebagai sarana atau media untuk menyampaikan pesan karena masih terpaku pada budaya ‘jual-beli’ atau biasa gue sebut sebagai budaya kapitalis; dimana pertunjukan-pertunjukan tersebut dianggap sebagai barang dagangan yang ditujukan untuk memenuhi keinginan pasar.

.

Sebenarnya, nggak ada yang lebih baik antara panggung seni dengan panggung hiburan. Keduanya dibuat dengan tujuan masing-masing. Yang salah adalah menyalahi prinsip dan melenceng dari visi yang dibuat semula. Yang salah adalah ketika pertunjukan seni dilacurkan demi mengikuti keinginan pasar. Yang salah adalah ketika kedua pertunjukan tersebut dijadikan sebagai ajang pembodohan masyarakat (pasar) karena ingin mengejar keuntungan material.

Koaran-koaran gue ini juga gue aplikasikan kepada SEPENA, dimana gue menolak segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mencari keuntungan material saja. Tetap gue juga senang ketika mendapatkan keuntungan material, tetapi gue nggak akan membiarkan keuntungan material tersebut mengendalikan kualitas karya (terlebih lagi, jiwa) para member. Keuntungan material gue anggap sebagai bonus, bukan tujuan utama, karena gue membawa title ‘seniman’ di dalam nama SEPENA. Sehingga, gue harus memegang prinsip yang sudah gue sebutkan tadi.

Dibilang idealis banget, nggak. Dibilang realistis banget, juga nggak. Kurang lebih, gue menyeimbangkan antara keduanya, di mana gue menggunakan sisi realistis gue untuk mendukung sisi idealis gue. Ya, gue nggak akan menggadaikan nilai dan prinsip gue demi uang sih. Emangnya gue pelacur, apa?

.

Gue rasa, segitu dulu yang bisa gue tulis. Tadinya mau nulis panjang lebar, tapi tau-tau gue mendapat distraksi yang sangat amat dahsyat sehingga gue lupa sama apa yang mau gue tulis. :’

Nice seeing you guys again.

Ciao!

.

PS: Gue sadar kalau prinsip gue sangat kontroversial jika disandingkan dengan dunia bobrok ini. Tapi ya, gelar ‘keras kepala’ yang gue miliki nggak datang tanpa alasan. Dan maaf, pendekatan gue melalui ekonomi, soalnya background pendidikan gue adalah Ekonomi.

6 thoughts on “Seni dan Hiburan

Leave a comment